Senin, 30 Maret 2009


ETIKA WAWANCARA

Tahukah Anda bahwa terkadang Anda grogi ketika wawancara pekerjaan, sehingga materi wawancara pun tak sempat lagi terpikir di benak Anda. Padahal, wawancara adalah penilaian yang paling subyektif dan sulit ditebak lulus tidaknya. Seringkali Anda yakin lulus, ternyata tidak lulus. Banyak faktor yang mempengaruhi lulus tidaknya diri Anda dari sebuah wawancara pekerjaan. Salah satunya adalah etika atau sopan santun pada saat wawancara berlangsung. Anda sering lupa bahwa kepintaran tidaklah cukup untuk bekal dalam sebuah wawancara, tetapi juga memerlukan integritas moral dan etika yang tercermin saat wawancara berlangsung sehingga dapat menambah poin untuk diri Anda sendiri. Berikut ini beberapa tips mengikuti ujian wawancara pekerjaan :

1. Berpakaian dan Penampilan Rapih

Kesan pertama sangat menentukan pada saat wawancara akan berlangsung. Begitu Anda masuk ke ruangan pewawancara, yang pertama dilihat adalah cara berpakaian dan penampilan Anda. Memang tidak ada aturan baku baik cara berpakaian maupun berpenampilan, akan tetapi ada baiknya pada saat wawancara, gunakan pakaian rapih, kemeja berkerah dan lengan panjang/pendek, celana katun warna gelap, serta memakai wewangian yang tidak menyengat, dan bersepatu. Jangan lupa menata rambut agar terlihat lebih rapih.

2. Bersikap sopan dan ramah

Melihat kondisi anak muda sekarang, saya cukup sedih melihat sopan santun dan rasa hormat yang mulai luntur. Oleh karena itu, jangan kaget kalo Anda merasa pintar, tapi tidak lulus seleksi wawancara. Bisa jadi karena sikap Anda yang kurang sopan atau tidak bersikap ramah terhadap si pewawancara.

Saat pertama masuk ke ruangan, sapalah pewawancara dan dahulukan berjabat tangan. Kemudian jawablah setiap pertanyaan dengan sopan dan ramah, serta gunakan bahasa Indonesia baku. Hindari debat kusir atau ucapan yang dapat membuat pewawancara tersinggung apabila terjadi perbedaan pendapat dengan pewawancara, lebih baik gunakanlah kalimat “….., itu menurut yang saya ketahui/pahami/kenali. Mohon maaf, mungkin saya salah atau belum mengetahui yang sebenarnya.” Merendahkan diri sedikit, tetapi meninggikan mutu. Sering-seringlah menggunakan kalimat ‘mohon maaf’ apabila ada sesuatu yang belum jelas atau ditengarai dapat menimbulkan perdebatan.

3. Perhatikan mood pewawancara

Pewawancara juga manusia, artinya bisa senang dan juga bisa marah. Oleh karena itu, sebelum melangkah lebih jauh, perhatikan dulu mood pewawancara. Kalau sedang dalam keadaan senang, bolehlah diselingi jawaban dengan sedikit bercanda, atau bertanya balik. Sebaliknya kalau lagi bad mood, sebaiknya jawab seperlunya dan hindari bertanya balik.

4. Cara Menjawab Pertanyaan

Jawablah pertanyaan dengan sederhana, singkat, padat, dan jelas, serta fokus kepada jawaban pertanyaan. Tidak perlu bercerita panjang lebar dan menjadi tidak jelas alurnya, sehingga membuat pewawancara menjadi bosan dan tidak tertarik untuk mendengarkan. Berilah penjelasan seperlunya, dengan tetap memperhatikan sopan santun dan tata bahasa yang baku. Hindari penggunaan bahasa prokem atau bahasa gaul sehari-hari, walaupun mungkin pewawancara mencoba memancing Anda dengan bahasa-bahasa tersebut.

5. Datang tampak muka, pulang tampak punggung

Berilah salam ketika datang, begitu pula ketika selesai wawancara. Sekali lagi, bersikaplah santun ketika hendak memulai dan mengakhiri wawancara. Jangan bersikap semaunya sendiri, kecuali kalau memang Anda tidak ingin lulus wawancara.

Tips di atas hanyalah sebagai panduan saja, tidak menjamin kelulusan tes wawancara Anda, namun paling tidak dapat membantu menambah poin yang dapat memuluskan jalan Anda. Sekali lagi, persiapan yang tepat dan benar merupakan kunci untuk keberhasilan wawancara Anda. Semoga bermanfaat dan selamat mencoba.

Sumber : Dizzman (http://calonpns.wordpress.com/2007/12/01/tips-wawancara-2-etika-saat-wawancara/)



ETIKA KOMUNIKASI

Belakangan ini persoalan komunikasi di media massa menjadi bahan pembicaraan. Dari kritik terhadap iklan yang dianggap kurang sesuai etika, tayangan pornografi dan/atau pornoaksi, hingga kekerasan yang merebak karena sering ditayangkan di televisi. Masih segar dalam ingatan, ketika pelaku mutilasi yang membuang korbannya di bus kota, mengaku bahwa ia mendapat inspirasi untuk melakukan mutilasi adalah dari berita tentang Rian, dari televisi!!!!

Lantas, apa sesungguhnya idealisme komunikasi yang mestinya ada kalau bentuk-bentuk yang menggejala sekarang ini dianggap menyimpang dari yang seharusnya? Media mestinya memberikan informasi yang benar. Jika media mampu memfungsikan diri sebagai sarana pendidikan yang efektif, maka pemirsa, pembaca, dan pendengar akan semakin memiliki sikap kritis, kemandirian, dan kedalaman berpikir. Informasi yang benar akan mencerahkan kehidupan, karena membantu menjernihkan pertimbangan. Pun, membuka peluang memperbaiki nasib seseorang atau kelompok. Informasi yang benar menghindarkan salah paham dan menjadi sarana penting untuk menciptakan perdamaian. Etika komunikasi sendiri ada, bukan hanya untuk menjamin hak akan informasi yang benar. Lebih dari itu, etika komunikasi dimaksudkan untuk menjamin hak berkomunikasi di ruang publik. Wujudnya, antara lain, pada etika profesi, etika institusional, dan regulasi publik.

Mengapa regulasi publik tidak diserahkan saja pada mekanisme diskusi publik yang diwadahi oleh lembaga legislatif? Ingat masalah pornografi yang tak pernah tuntas? Pornografi selalu dibela pendukungnya dengan dalih kebebasan berekspresi. Secara cerdas, pornografi juga dilarikan pada masalah ‘sulitnya mendefinisikan batas-batas pornografi’. Padahal kebebasan berekspresi di ruang publik ada batasnya, yaitu kepentingan publik sendiri. Selain itu, batas-batas pornografi juga bisa dirumuskan secara jelas, kalau mau becermin bukan pada pelakunya sendiri.

Etika komunikasi mau memecahkan dilema antara kebebasan berekspresi dan tanggungjawab media sebagai instansi pelayanan publik. Etika komunikasi dapat membantu terciptanya regulasi publik, yang bukan pertama-tama untuk membatasi kebebasan berekspresi, tetapi juga memperkuat deontologi profesi, mengangkat kredibilitas media, dan pada akhirnya menjamin masyarakat untuk memenuhi haknya akan informasi yang benar.

Hak untuk berkomunikasi di ruang publik merupakan hak yang paling mendasar. Jika hak itu tidak dijamin akan memberi kebebasan berpikir sehingga tidak mungkin bisa ada otonomi manusia. Hak untuk berkomunikasi di ruang publik ini tidak bisa dilepaskan dari otonomi demokrasi yang didasarkan pada kebebasan untuk berekspresi. Jadi, untuk menjamin otonomi demokrasi ini hanya mungkin apabila hak untuk berkomunikasi di publik dihormati. Etika komunikasi merupakan bagian dari upaya untuk menjamin otonomi demokrasi tersebut.

Etika komunikasi tidak hanya berhenti pada masalah prilaku aktor komunikasi (wartawan, editor, agen iklan, dan pengelola rumah produksi). Etika komunikasi berhubungan juga dengan praktek institusi, hukum, komunitas, struktur sosial, politik dan ekonomi. Lebih dari itu, etika komunikasi selalu dihadapkan dengan berbagai masalah, yaitu antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab terhadap pelayanan publik itu. Etika komunikasi memilik tiga dimensi yang terkait satu dengan yang lain, yaitu :

1. Aksi komunikasi

Aksi komunikasi yaitu dimensi yang langsung terkait dengan perilaku aktor komunikasi. Perilaku aktor komunikasi hanya menjadi salah satu dimensi etika komunikasi, yaitu bagian dari aksi komunikasi. Aspek etisnya ditunjukkan pada kehendak baik ini diungkapkan dalam etika profesi dengan maksud agar ada norma intern yang mengatur profesi. Aturan semacam ini terumus dalam deontologi jurnalisme. Mudah sekali para aktor komunikasi mengalihkan tanggung jawab atau kesalahan mereka pada sistem ketika dituntut untuk mempertanggungjawabkan elaborasi informasi yang manipulatif, menyesatkan publik atau yang berbentuk pembodohan.

2. Sarana

Pada tingkat sarana ini, analisis yang kritis, pemihakan kepada yang lemah atau korban, dan berperan sebagai penengah diperlukan karena akses ke informasi tidak berimbang, serta karena besarnya godaan media ke manipulasi dan alienasi. Dalam masalah komunikasi, keterbukaan akses juga ditentukan oleh hubungan kekuasaan. Pengunaan kekuasaan dalam komunikasi tergantung pada penerapan fasilitas baik ekonomi, budaya, politik, atau teknologi. Semakin banyak fasilitas yang dimiliki semakin besar akses informasi, semakin mampu mendominasi dan mempengaruhi perilaku pihak lain atau publik. Negara tidak bisa membiarkan persaingan bebas tanpa bisa membiarkan persaingan bebas tanpa penengah diantara para aktor komunikasi maupun pemegang saham. Pemberdayaan publik melalui asosiasi warga negara, class action, pembiayaan penelitian, pendidikan untuk pemirsa, pembaca atau pendengar agar semakin mandiri dan kritis menjadi bagian dari perjuangan etika komunikasi.

3. Tujuan

Dimensi tujuan menyangkut nilai demokrasi, terutama kebebasan untuk berekspresi, kebebasan pers, dan juga hak akan informasi yang benar. Dalam negara demokratis, para aktor komunikasi, peneliti, asosiasi warga negara, dan politisi harus mempunyai komitmen terhadap nilai kebebasan tersebut. Negara harus menjamin serta memfasilitasi terwujudnya nilai tersebut.


Sumber: Etika Komunikasi. Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi

Dr.Haryatmoko

Kanisius, Yogya, 2007

ETIKA KERJA DI TEMPAT KERJA BARU

Menjadi karyawan baru atau pegawai baru kerapkali tidak mudah. Sudah mencari pekerjaannya setengah mati susahnya, soal adaptasi dengan lingkungan baru pun kerap menjadi masalah tersendiri. Keadaan semacam inilah yang kerap membuat para karyawan baru harus menelan pengalaman pahit. Mereka akhirnya mengambil keputusan untuk berhenti dengan alasan tidak tahan atau terpaksa. Buntut-buntutnya cari pekerjaan lagi.

Kalau melihat praktek sehari-hari, rupanya kejadian demikian tidak hanya menimpa orang yang baru pertama kali kerja. Orang yang sudah punya pengalaman kerja sekali pun sering terhambat oleh soal adaptasi ini. Intinya, menjadi karyawan baru atau menjadi orang baru di tempat yang sama sekali baru itu tidak bisa dibilang mudah seratus persen. Ada sejumlah kesulitan, yang kalau tidak ditangani secara bijak, dapat membuat rencana kita gagal atau terbengkalai di tengah jalan.Dari praktek di lapangan, munculnya kesulitan itu bisa bersumber dari dalam diri kita (masalah internal)dan juga ada yang bersumber dari atasan, pimpinan atau manajemen (masalah eksternal).

Bagaimana menghadapinya?

Seperti yang sudah dipaparkan, ketika kita menghadapi persoalan di tempat kerja, pilihan yang tersedia di situ mungkin hanya dua. Pertama, kita hengkang ke tempat lain yang lebih bagus (Push out but better off). Ketika pilihan ini yang dipilih, berarti pembahasannya selesai. Kedua, kita tetap akan masuk di pekerjaan itu dan mengembangkan jurus-jurus baru di dalamnya (Staying on but building option). Mungkin ada yang bertanya, jurus-jurus apa yang perlu diambil jika saya tetap memilih opisi kedua? Di bawah ini ada beberapa yang mungkin bisa kita jadikan acauan:

1. Fokuskan pada pengembangan diri

Dua agenda penting dalam pengembangan diri di sini adalah: a) memiliki program pengembangan sendiri, entah itu skill kerja atau mental yang terencana dengan bagus sesuai keadaan kita, dan b) menjadi fasilitator atas apa yang ditugaskan kepada kita. Menjadi fasilitator artinya kita menerima apapun yang ditugaskan kepada kita sebagai sarana belajar. Jangan mengerjakan sesuatu hanya karena disuruh semata. Ini beban buat kita dan terkadang mencerminkan kesan yang kurang bagus. Apalagi jika itu kita barengi dengan menuntut hak-hak sebelum kewajiban. Mengacu pada penjelasan di muka, kita bisa menjadikan tugas itu sebagai latihan berpikir kritis, latihan meningkatkan skill atau competency, dan lain-lain.

2. Fokuskan pada pembuktian

Sebagai orang baru, mungkin pesan Jet Li ini perlu diingat. Pertama, ketuklah pintu. Kedua, buatlah orang lain tahu bahwa Anda datang. Ketiga, buktikan siapa dirimu. Jika Anda sudah berhasil membuktikan diri, maka Anda tidak kesulitan mengontrol orang dan keadaan. Minimalnya, ketika kita sudah berhasil membuktikan diri secara bertahap, maka kita tidak gagap, tidak takut, tidak minder atau diliputi perasaan yang tidak-tidak tanpa alasan yang jelas.

Sebagai orang baru, kerapkali banyak penilaian yang bermacam-macam pada kita. Ada yang minor, underestimate, kurang ini, kurang itu, dan lain-lain. Satu sisi ini perlu kita pahami sebagai kewajaran. Namun begitu, jika kita pada akhirnya sanggup membuktikan diri, opini orang sekitar yang bermacam-macam pada kita akan kalah oleh realitas yang kita buktikan. Inilah salah satu esensi profesionalitas. Terkadang lebih bagus kita dinilai lima tetapi sanggup membuktikan sampai tujuh ketimbang kita dinilai tujuh tetapi hanya sanggup sampai lima.

3. Pelajari cara hidup

Cara hidup di sini termasuk bahasa-hidup, kebiasaan, dan budaya yang berlaku di tempat baru. Untuk bisa mempelajari ini memang terkadang menuntut agar kita ikut lebih dulu. Kalau bicara resiko sosial, bebannya akan lebih ringan kalau kita lebih dulu mengikuti cara hidup orang lama ketimbang kita langsung memberontak. Tentu ini untuk beberapa hal yang sifatnya bukan pelanggaran. Agar kita bisa ikut dan belajar, yang diperlukan di sini adalah kemampuan untuk mendengarkan, mengobservasi, melihat, menanyakan dan mempertanyakan serta memahami. Hindari upaya-upaya untuk menonjolkan diri sendiri secara mencolok atau ekstrim, apalagi membual terlalu jauh. Jadikan ini sebagai sarana untuk memperbaiki kemampuan berkomunikasi.

4. Hindari keberpihakan "gang"

Biar di tempat kerja pun ada politik, seperti di Senayan. Namanya sering disebut office politic (OP). OP ini adalah cara informal atau cara yang halus untuk mendapatkan kekuasaan, baik itu formal (authority) atau non-formal (power). Dalam prakteknya, OP ini kerap menimbulkan konflik antar-gang di tempat kerja. Sebagai orang baru, akan lebih safe kalau kita menghindari keberpihakan pada gang tertentu secara fanatik. Akan lebih bagus kalau kita bermain netral yang bijak dan asertif. Bijak di sini artinya punya kemampuan mengakomodasi dua hal yang kontras dan memberikan respon yang proper (tepat) dan proporsional. Asertif artinya kita tetap menjadi asli tetapi juga bisa beradaptasi dengan cara yang bagus (polite but firm). Ini juga termasuk latihan berkomunikasi (dealing with others).

5. Membangun mentalitas baja

Jurus ini kerap berhasil digunakan menghadapi atasan yang kita sebut difficult people di atas pada saat belum punya alternatif lain. Tentu ini tidak untuk semua jenis dan tipe. Sebut saja di sini misalnya kita punya atasan yang "tidak mudah puas". Jika itu kita terima dengan pemahaman yang dangkal tentang diri si atasan itu, akan mempersulit hidup kita sendiri atau memperberat beban batin kita. Akan mungkin berbeda masalahnya seandainya kita mampu melihat atasan kita dengan angle atau sudut pemahaman yang berbeda.

Bermental baja bukan berarti ndablek, tidak mempan perubahan dan tidak punya perasaan. Untuk punya mental baja, justru kita perlu punya pemikiran luas, pengertian bijak dan pandangan yang obyektif dalam menilai sebuah kejadian, misal ketika dimarahi, dikasih tugas yang berat, ditegur, dikritik, dsb. Kita tidak menilai atasan atau kolega dari sikap / reaksi emosi / perilaku mereka. Selama kita terpancing oleh hal-hal yang ada dipermukaan / yang terlihat / pada kasusnya semata, pada perilakunya semata, sebenarnya asumsi kita didasari oleh pemahaman yang sangat dangkal tentang orang itu atau situasi yang muncul. Itu yang membuat kita akhirnya lebih focus ke sakit hati-nya dari pada melihat hikmah atau pelajarannya.

Sumber : http://irwandesigner.multiply.com/journal/item/32