Senin, 30 Maret 2009

ETIKA KERJA DI TEMPAT KERJA BARU

Menjadi karyawan baru atau pegawai baru kerapkali tidak mudah. Sudah mencari pekerjaannya setengah mati susahnya, soal adaptasi dengan lingkungan baru pun kerap menjadi masalah tersendiri. Keadaan semacam inilah yang kerap membuat para karyawan baru harus menelan pengalaman pahit. Mereka akhirnya mengambil keputusan untuk berhenti dengan alasan tidak tahan atau terpaksa. Buntut-buntutnya cari pekerjaan lagi.

Kalau melihat praktek sehari-hari, rupanya kejadian demikian tidak hanya menimpa orang yang baru pertama kali kerja. Orang yang sudah punya pengalaman kerja sekali pun sering terhambat oleh soal adaptasi ini. Intinya, menjadi karyawan baru atau menjadi orang baru di tempat yang sama sekali baru itu tidak bisa dibilang mudah seratus persen. Ada sejumlah kesulitan, yang kalau tidak ditangani secara bijak, dapat membuat rencana kita gagal atau terbengkalai di tengah jalan.Dari praktek di lapangan, munculnya kesulitan itu bisa bersumber dari dalam diri kita (masalah internal)dan juga ada yang bersumber dari atasan, pimpinan atau manajemen (masalah eksternal).

Bagaimana menghadapinya?

Seperti yang sudah dipaparkan, ketika kita menghadapi persoalan di tempat kerja, pilihan yang tersedia di situ mungkin hanya dua. Pertama, kita hengkang ke tempat lain yang lebih bagus (Push out but better off). Ketika pilihan ini yang dipilih, berarti pembahasannya selesai. Kedua, kita tetap akan masuk di pekerjaan itu dan mengembangkan jurus-jurus baru di dalamnya (Staying on but building option). Mungkin ada yang bertanya, jurus-jurus apa yang perlu diambil jika saya tetap memilih opisi kedua? Di bawah ini ada beberapa yang mungkin bisa kita jadikan acauan:

1. Fokuskan pada pengembangan diri

Dua agenda penting dalam pengembangan diri di sini adalah: a) memiliki program pengembangan sendiri, entah itu skill kerja atau mental yang terencana dengan bagus sesuai keadaan kita, dan b) menjadi fasilitator atas apa yang ditugaskan kepada kita. Menjadi fasilitator artinya kita menerima apapun yang ditugaskan kepada kita sebagai sarana belajar. Jangan mengerjakan sesuatu hanya karena disuruh semata. Ini beban buat kita dan terkadang mencerminkan kesan yang kurang bagus. Apalagi jika itu kita barengi dengan menuntut hak-hak sebelum kewajiban. Mengacu pada penjelasan di muka, kita bisa menjadikan tugas itu sebagai latihan berpikir kritis, latihan meningkatkan skill atau competency, dan lain-lain.

2. Fokuskan pada pembuktian

Sebagai orang baru, mungkin pesan Jet Li ini perlu diingat. Pertama, ketuklah pintu. Kedua, buatlah orang lain tahu bahwa Anda datang. Ketiga, buktikan siapa dirimu. Jika Anda sudah berhasil membuktikan diri, maka Anda tidak kesulitan mengontrol orang dan keadaan. Minimalnya, ketika kita sudah berhasil membuktikan diri secara bertahap, maka kita tidak gagap, tidak takut, tidak minder atau diliputi perasaan yang tidak-tidak tanpa alasan yang jelas.

Sebagai orang baru, kerapkali banyak penilaian yang bermacam-macam pada kita. Ada yang minor, underestimate, kurang ini, kurang itu, dan lain-lain. Satu sisi ini perlu kita pahami sebagai kewajaran. Namun begitu, jika kita pada akhirnya sanggup membuktikan diri, opini orang sekitar yang bermacam-macam pada kita akan kalah oleh realitas yang kita buktikan. Inilah salah satu esensi profesionalitas. Terkadang lebih bagus kita dinilai lima tetapi sanggup membuktikan sampai tujuh ketimbang kita dinilai tujuh tetapi hanya sanggup sampai lima.

3. Pelajari cara hidup

Cara hidup di sini termasuk bahasa-hidup, kebiasaan, dan budaya yang berlaku di tempat baru. Untuk bisa mempelajari ini memang terkadang menuntut agar kita ikut lebih dulu. Kalau bicara resiko sosial, bebannya akan lebih ringan kalau kita lebih dulu mengikuti cara hidup orang lama ketimbang kita langsung memberontak. Tentu ini untuk beberapa hal yang sifatnya bukan pelanggaran. Agar kita bisa ikut dan belajar, yang diperlukan di sini adalah kemampuan untuk mendengarkan, mengobservasi, melihat, menanyakan dan mempertanyakan serta memahami. Hindari upaya-upaya untuk menonjolkan diri sendiri secara mencolok atau ekstrim, apalagi membual terlalu jauh. Jadikan ini sebagai sarana untuk memperbaiki kemampuan berkomunikasi.

4. Hindari keberpihakan "gang"

Biar di tempat kerja pun ada politik, seperti di Senayan. Namanya sering disebut office politic (OP). OP ini adalah cara informal atau cara yang halus untuk mendapatkan kekuasaan, baik itu formal (authority) atau non-formal (power). Dalam prakteknya, OP ini kerap menimbulkan konflik antar-gang di tempat kerja. Sebagai orang baru, akan lebih safe kalau kita menghindari keberpihakan pada gang tertentu secara fanatik. Akan lebih bagus kalau kita bermain netral yang bijak dan asertif. Bijak di sini artinya punya kemampuan mengakomodasi dua hal yang kontras dan memberikan respon yang proper (tepat) dan proporsional. Asertif artinya kita tetap menjadi asli tetapi juga bisa beradaptasi dengan cara yang bagus (polite but firm). Ini juga termasuk latihan berkomunikasi (dealing with others).

5. Membangun mentalitas baja

Jurus ini kerap berhasil digunakan menghadapi atasan yang kita sebut difficult people di atas pada saat belum punya alternatif lain. Tentu ini tidak untuk semua jenis dan tipe. Sebut saja di sini misalnya kita punya atasan yang "tidak mudah puas". Jika itu kita terima dengan pemahaman yang dangkal tentang diri si atasan itu, akan mempersulit hidup kita sendiri atau memperberat beban batin kita. Akan mungkin berbeda masalahnya seandainya kita mampu melihat atasan kita dengan angle atau sudut pemahaman yang berbeda.

Bermental baja bukan berarti ndablek, tidak mempan perubahan dan tidak punya perasaan. Untuk punya mental baja, justru kita perlu punya pemikiran luas, pengertian bijak dan pandangan yang obyektif dalam menilai sebuah kejadian, misal ketika dimarahi, dikasih tugas yang berat, ditegur, dikritik, dsb. Kita tidak menilai atasan atau kolega dari sikap / reaksi emosi / perilaku mereka. Selama kita terpancing oleh hal-hal yang ada dipermukaan / yang terlihat / pada kasusnya semata, pada perilakunya semata, sebenarnya asumsi kita didasari oleh pemahaman yang sangat dangkal tentang orang itu atau situasi yang muncul. Itu yang membuat kita akhirnya lebih focus ke sakit hati-nya dari pada melihat hikmah atau pelajarannya.

Sumber : http://irwandesigner.multiply.com/journal/item/32

Tidak ada komentar:

Posting Komentar