Senin, 30 Maret 2009


ETIKA KOMUNIKASI

Belakangan ini persoalan komunikasi di media massa menjadi bahan pembicaraan. Dari kritik terhadap iklan yang dianggap kurang sesuai etika, tayangan pornografi dan/atau pornoaksi, hingga kekerasan yang merebak karena sering ditayangkan di televisi. Masih segar dalam ingatan, ketika pelaku mutilasi yang membuang korbannya di bus kota, mengaku bahwa ia mendapat inspirasi untuk melakukan mutilasi adalah dari berita tentang Rian, dari televisi!!!!

Lantas, apa sesungguhnya idealisme komunikasi yang mestinya ada kalau bentuk-bentuk yang menggejala sekarang ini dianggap menyimpang dari yang seharusnya? Media mestinya memberikan informasi yang benar. Jika media mampu memfungsikan diri sebagai sarana pendidikan yang efektif, maka pemirsa, pembaca, dan pendengar akan semakin memiliki sikap kritis, kemandirian, dan kedalaman berpikir. Informasi yang benar akan mencerahkan kehidupan, karena membantu menjernihkan pertimbangan. Pun, membuka peluang memperbaiki nasib seseorang atau kelompok. Informasi yang benar menghindarkan salah paham dan menjadi sarana penting untuk menciptakan perdamaian. Etika komunikasi sendiri ada, bukan hanya untuk menjamin hak akan informasi yang benar. Lebih dari itu, etika komunikasi dimaksudkan untuk menjamin hak berkomunikasi di ruang publik. Wujudnya, antara lain, pada etika profesi, etika institusional, dan regulasi publik.

Mengapa regulasi publik tidak diserahkan saja pada mekanisme diskusi publik yang diwadahi oleh lembaga legislatif? Ingat masalah pornografi yang tak pernah tuntas? Pornografi selalu dibela pendukungnya dengan dalih kebebasan berekspresi. Secara cerdas, pornografi juga dilarikan pada masalah ‘sulitnya mendefinisikan batas-batas pornografi’. Padahal kebebasan berekspresi di ruang publik ada batasnya, yaitu kepentingan publik sendiri. Selain itu, batas-batas pornografi juga bisa dirumuskan secara jelas, kalau mau becermin bukan pada pelakunya sendiri.

Etika komunikasi mau memecahkan dilema antara kebebasan berekspresi dan tanggungjawab media sebagai instansi pelayanan publik. Etika komunikasi dapat membantu terciptanya regulasi publik, yang bukan pertama-tama untuk membatasi kebebasan berekspresi, tetapi juga memperkuat deontologi profesi, mengangkat kredibilitas media, dan pada akhirnya menjamin masyarakat untuk memenuhi haknya akan informasi yang benar.

Hak untuk berkomunikasi di ruang publik merupakan hak yang paling mendasar. Jika hak itu tidak dijamin akan memberi kebebasan berpikir sehingga tidak mungkin bisa ada otonomi manusia. Hak untuk berkomunikasi di ruang publik ini tidak bisa dilepaskan dari otonomi demokrasi yang didasarkan pada kebebasan untuk berekspresi. Jadi, untuk menjamin otonomi demokrasi ini hanya mungkin apabila hak untuk berkomunikasi di publik dihormati. Etika komunikasi merupakan bagian dari upaya untuk menjamin otonomi demokrasi tersebut.

Etika komunikasi tidak hanya berhenti pada masalah prilaku aktor komunikasi (wartawan, editor, agen iklan, dan pengelola rumah produksi). Etika komunikasi berhubungan juga dengan praktek institusi, hukum, komunitas, struktur sosial, politik dan ekonomi. Lebih dari itu, etika komunikasi selalu dihadapkan dengan berbagai masalah, yaitu antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab terhadap pelayanan publik itu. Etika komunikasi memilik tiga dimensi yang terkait satu dengan yang lain, yaitu :

1. Aksi komunikasi

Aksi komunikasi yaitu dimensi yang langsung terkait dengan perilaku aktor komunikasi. Perilaku aktor komunikasi hanya menjadi salah satu dimensi etika komunikasi, yaitu bagian dari aksi komunikasi. Aspek etisnya ditunjukkan pada kehendak baik ini diungkapkan dalam etika profesi dengan maksud agar ada norma intern yang mengatur profesi. Aturan semacam ini terumus dalam deontologi jurnalisme. Mudah sekali para aktor komunikasi mengalihkan tanggung jawab atau kesalahan mereka pada sistem ketika dituntut untuk mempertanggungjawabkan elaborasi informasi yang manipulatif, menyesatkan publik atau yang berbentuk pembodohan.

2. Sarana

Pada tingkat sarana ini, analisis yang kritis, pemihakan kepada yang lemah atau korban, dan berperan sebagai penengah diperlukan karena akses ke informasi tidak berimbang, serta karena besarnya godaan media ke manipulasi dan alienasi. Dalam masalah komunikasi, keterbukaan akses juga ditentukan oleh hubungan kekuasaan. Pengunaan kekuasaan dalam komunikasi tergantung pada penerapan fasilitas baik ekonomi, budaya, politik, atau teknologi. Semakin banyak fasilitas yang dimiliki semakin besar akses informasi, semakin mampu mendominasi dan mempengaruhi perilaku pihak lain atau publik. Negara tidak bisa membiarkan persaingan bebas tanpa bisa membiarkan persaingan bebas tanpa penengah diantara para aktor komunikasi maupun pemegang saham. Pemberdayaan publik melalui asosiasi warga negara, class action, pembiayaan penelitian, pendidikan untuk pemirsa, pembaca atau pendengar agar semakin mandiri dan kritis menjadi bagian dari perjuangan etika komunikasi.

3. Tujuan

Dimensi tujuan menyangkut nilai demokrasi, terutama kebebasan untuk berekspresi, kebebasan pers, dan juga hak akan informasi yang benar. Dalam negara demokratis, para aktor komunikasi, peneliti, asosiasi warga negara, dan politisi harus mempunyai komitmen terhadap nilai kebebasan tersebut. Negara harus menjamin serta memfasilitasi terwujudnya nilai tersebut.


Sumber: Etika Komunikasi. Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi

Dr.Haryatmoko

Kanisius, Yogya, 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar